Berita

Pojokan 120, Sumeleh

BY Humas . 10 Oktober 2022 - 10:18

Jakarta:-Mas Jum, begitu panggilannya. Jumadi adalah salah satu pramusaji Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP) yang bertugas di Gedung Setwapres. Dia begitu bersahaja. Empat putranya. Beberapa diantaranya sedang menempuh Pendidikan di pesantren. Nyantri. Pendapatannya ya, UMR-lah (Upah Minimum Regional). Kurang dari Rp 4 (empat) juta per bulan. Dengan berbagai kebutuhan yang tentu bisa dibilang melebihi pendapatan, Mas Jumadi, menjalani hidup dengan sumeleh. Sebuah sikap yang sederhana dan memasrahkan kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tak neko-neko dan mengembalikan segala sesuatunya kepada Gusti yang murbeng alam.


Pendidikan formalnya tak sementereng para pejabat. Biasa saja, tamatan SMA dan lulusan ngaji di langgar (musala) di kampungnya sendiri. Setiap hari, Mas Jum bersama temannya bekerja melayani berbagai kebutuhan para pegawai di lingkungan BPIP. Khususnya yang ada di Gedung Setwapres. Kebersahajaannya, keramahannya dan selalu siap membantu semua orang, menjadikan Mas Jum, disenangi semua.


Menariknya, Mas Jum pun pernah menggantikan khatib shalat Jumat di salah satu masjid komplek BPIP. Kebetulan khatibnya tidak hadir. Pengurus masjid, kebingungan. Mas Jum menawarkan diri. Saya yakin, Mas Jum menawarkan diri bukan karena perasaan sombong, dirinya bisa. Namun lebih karena menolong pengurus dan jamaah yang sudah lama menunggu shalat Jumat di mulai. Mencari solusi, itu yang menjadi dasar dari penawaran diri Mas Jum menjadi khatib.


Sikap sumeleh inilah yang saya lihat dari Mas Jum. Sikap yang tidak mudah dalam mempraktikkannya. Umumnya manusia selalu dipenuhi dengan keinginan. Bahkan ambisi. Dan selalu merasa kurang, tak merasa cukup. Dalam konteks keinginan, sebenarnya wajar dan harus. Sebab bagi kita manusia biasa, keinginan menjadi motivasi untuk berusaha dan bekerja keras. Tanpa keinginan, manusia tak akan maju dan tak beda dengan mahkluk lain. Hidup hanya bisnis an usual, rutinitas tanpa makna.


Dalam mengejar keinginan, bisa dipastikan orang akan berusaha semaksimal mungkin. Tentu dengan cara yang baik dan benar, tak melanggar aturan atau bahkan nambrak aturan. Tak sampai menyakiti atau berdampak negative terhadap orang/mahkluk lainnya. Selama (keinginan) itu, dilakukan dalam koridor usaha maksimal dengan cara yang baik dan benar, disertai doa sebagai bukti ketakaberdayaan akan hasil yang akan diperoleh, maka hal tersebut sah-sah saja. Agama menyebutnya tawakal.


Nah, sikap sumelehnya Mas Jum itu lebih dari itu. Sikap memasrahkan, menyerahkan diri dan keinginan kepada Hyang Widi (al-Ahad). Sudah! Lepas! tidak mikirin lagi apa yang menjadi keinginannya. “Monggo kerso Gusti Allah”, begitu katanya.


Harapan akan keberhasilan keingian yang bercampur dengan ketakutan tak tercapainya keinginan, menjadi motivasi bagi kita untuk memuwujudkan keinginan. Bahkan dengan cara apapun. Tak peduli dengan yang lain, yang penting keinginan bisa tercapai. Harapan dan ketakutan pada keinginan melahirkan energi yang membuncah menjadi upaya dan kreativitas. Jumlah energi yang besar dari harapan dan ketakutan itu bermetamorfosis menjadi ambisi. Energi yang dikelola dengan baik dari harapan dan ketakutan melahirkan keuletan dan kesabaran tanpa merugikan atau menyakiti sesiapapun.


Sumeleh menjadi penawar dari ambisi dan ketakutan kita akan tak tercapainya keinginan. Sumeleh tak mengabaikan usaha, upaya dan doa. Sumeleh adalah sikap untuk melepaskan diri dari beban harapan akan terwujudnya keinginan. Pun menanggalkan beban ketakutan akan tak terwujudnya keinginan. Seperti seorang bayi yang tak berdaya ditangan ibunya. Semua bergantung ibunya. Dan kita pasti yakin dan percaya serta sepakat, pasti ibunya akan menyayangi sepenuh hati, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan maksimal. Demi harapan agar si bayi tumbuh sehat dan kuat. Agar hilang ketakutan akan hal yang negative atas diri si bayi. Bayi tak pernah berpikir untuk harapan dan ketakutan akan hidupnya. Dia tak berdaya, namun memberdayakan orang tuanya. Dia hidup dari kasih sayang tulus orang tuanya.


Sumeleh itu, kira-kira seperti itu. Menyerahkan, memasrahkan, mengembalikan segala apa yang menjadi keingingin kepada Gusti Allah. Indikator sumeleh adalah, ketika kita “biasa-biasa” sajadengan apapun hasilnya. “nothing to lose”, begitu kata orang sekarang. Tidak terbebani dengan ketakutan kepada orang, keinginan dan segala hal yang membuat hati menjadi tersiksa. Terbebas dari keterpautan hati, nafsu untuk keharusan terwujudnya keinginan. Tersiksa karena harapan dan ketakutan. Ketakutan akan harapan yang tak terkabul, itu siksaan. Entah kapan, hati ini bisa sumeleh. “Karep  Gusti Allah saja lah”. Yang pasti, wajib hukumnya berusaha semaksimal mungkin. Bukan langsung sumeleh. (ER)

Oleh: Kang Marbawi, (04/10/22)